Siapa
yang tidak mengenal sosok ini? Bagi anggota BiOSC hukumnya wajib untuk mengenal
sosok yang satu ini. Sosok yang kita kenal sebagai “Ibunya Anggrek”, yang
diwajahnya selalu terukir senyum ramah yang khas ini. Beliau adalah dosen
pembimbing BiOSC, Ibu Dr.
Endang Semiarti, M.S., M.Sc.,. Nah, untuk mengenal beliau lebih dekat lagi,
simak cerita selengkapnya mengenai asam-manisnya perjalanan beliau berkecimpung
di dunia anggrek selama ini.
Putri
dari seorang Dokter Anak ini memulai kisah bersama anggrek saat beliau menjadi
mahasiswa Biologi pada tahun 1981. Dulu Fakultas
Biologi UGM
terkenal sebagai
pusat kegiatan peranggrekan di tanah air, karena fakultas ini mempunyai
seorang ahli anggrek di Indonesia, bahkan menjadi salah satu
pendiri Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), yaitu Prof. Moeso Suryowinoto. Menurut bu Endang, dulu Fakultas Biologi memiliki
tiga Greenhouse untuk tanaman anggrek. Pada tahun 1976, Prof. Moeso membangun Laboratorium
Kultur Jaringan Tumbuhan (sekarang Laboratorium Bioteknologi-Red) dengan
menjual mobil pribadi/keluarga. Di Lab tersebut kegiatan peranggrekan, terutama
kultur in vitro untuk penanaman biji
anggrek dan perbanyakan klonal dilakukan sampai sekarang.
Pada saat itu koleksi anggrek
Fakultas Biologi sangat bervariasi, banyak jumlahnya dan sangat cantik,
sehingga tak heran jika banyak
para penganggrek yang berkunjung dan
ingin belajar tentang budidaya anggrek ke
Fakultas Biologi. Dalam rangka pengabdian
kepada masyarakat, Fakultas Biologi bekerjasama dengan PAI setiap tahun
menyelenggarakan Pelatihan Budidaya Anggrek untuk masyarakat dan
sudah 3 kali menyelenggarakan Seminar
Anggrek Nasional. Tetapi
dengan adanya penambahan ruang dan pembangunan gedung
disana-sini, sekarang greenhouse anggrek
hanya tinggal 1, yang lokasinya menyatu dengan lab Bioteknologi, dan 1 rumah
kawat anggrek spesies yang terdapat di sebelah luar greenhouse.
“Tetapi Tuhan memang sayang kepada kita, pada tahun
2009-2012 Fakultas Biologi memenangkan I-MHERE Project Grant dari World Bank.
Dengan grant tersebut Fakultas Biologi didukung oleh KP4
membangun Kebun Anggrek di KP4 dan Botanical Garden,
sehingga dapat menjadi pengganti kebun yang hilang
itu. Alhamdulillah”, demikian tambah Ibu Endang.
Saat ditanya kapan bu Endang mulai mencintai anggrek?
Dengan tersenyum beliau menjawab bahwa beliau
mencintai anggrek sejak
beliau menjadi mahasiswa Fakultas Biologi.
Waktu kecil sebenarnya ibundanya juga sering memelihara
anggrek di rumah beliau di Solo, tetapi saat itu belum timbul rasa cinta kepada
anggrek tersebut. Nah, sejak kuliah di Fakultas Biologi inilah
kecintaan beliau terhadap anggrek mulai tumbuh, berkembang dan mudah-mudahan terus lestari.
“Karena
menjadi mahasiswa Biologi dan setiap hari melihat
anggrek di Fakultas Biologi yang cantik-cantik,
jadi senang dan kepingin terus menerus melihatnya.
Awalnya senang itu hanya pada tahap melihat saja, tetapi lama-kelamaan menjadi
cinta apalagi setelah mengikuti kuliah beliau
(Prof. Moeso) sepertinya asyik
juga memelihara anggrek apalagi ternyata anggrek
itu juga bisa untuk wirausaha,” kata beliau dengan pandangan menerawang mengenang
masa lalu.
“Untuk
wirausaha kita bisa mengembangkan ilmu Biologi, misalnya untuk diterapkan pada anggrek, kita bisa mengambil 4 segmen dalam budidaya anggrek,
yaitu bisa memproduksi
anggrek botolan, anggrek umur remaja dalam pot, anggrek dewasa siap berbunga
dan anggrek berbunga dalam pot,” beliau menambahkan lagi,“Sebetulnya
itu adalah impian saya dulu”.
Sebenarnya
hal unik apa sih yang dimiliki anggrek? Menurut beliau anggrek itu sifatnya evergreen, ngetrend selamanya. Selain itu, untuk bisnis juga menguntungkan. Tapi permasalahan utama adalah waktu tumbuh yang lama,
sehingga orang mudah bosan. Nah, untuk mengatasi hal itu
perlu kiat-kiat tertentu
untuk bisa bermain di banyak sektor. Kita bisa khusus produksi bibit dalam
botol, orang lain membeli bibitnya dan cukup membesarkannya sampai 10 cm,
kemudian dijual kepada orang-orang yang membungakan, dst.
Bagaimanakah perjalanan karir bu Endang di bidang
peranggrekan? Langkah pertama dimulai saat beliau diterima menjadi dosen di Lab
Kultur Jaringan pada tahun
1987 dan langsung mengambil studi lanjut S2 Bidang Kultur
Jaringan di Fakultas Pascasarjana UGM. Beliau memulai
penelitian pertama bidang anggrek mengenai
hibridisasi somatik antara anggrek Dendrobium
dan Phalaenopsis melalui fusi protoplas. Beliau mendapatkan beasiswa Supersemar dari
Presiden RI untuk penelitian tesis S2 nya ini.
Tugas pertamanya saat menjadi dosen adalah merawat anggrek, mengkulturkan dan
menggandakan anggrek sebanyak-banyaknya, serta mengajar di pelatihan-pelatihan.
Kiat beliau saat mengajar tentang
budidaya anggrek adalah selalu mengajak mahasiswa dan para peserta pelatihan
untuk memulai dengan “mencintai” anggrek, sehingga dengan cinta kesuksesan dalam
pembudidayaan dan perawatan akan dapat diraih.
“Orang
tidak bisa mengajar kalau dia tidak mencintai apa yang akan diajarkannya. Kita harus berusaha mencintai dan menjiwai
substansi yang akan diajarkan itu
sebelum mengajarkannya ke orang lain,” ungkap beliau
penuh semangat.
Fakta
unik lain mengenai sosok pecinta Vanda
tricolor dan Phalaenopsis amabilis
ini, ternyata skripsi S1 beliau bukanlah anggrek, tapi berkaitan dengan genetika otak serangga. Lulusan
S1 1986 dengan predikat Cum laude ini memulai kariernya
menjadi dosen fakultas Biologi benar-benar
dari nol, karena banting stir
dari hewan ke tanaman.
Beliau mengaku setelah benar-benar
berusaha untuk tertarik mempelajari dan merawat
anggrek, maka beliau bisa mulai mencintainya dan terus mencintainya sampai sekarang.
Bagaimana
ceritanya dari hewan beralih ke anggrek? Begini nih ceritanya. Pada saat itu
Prof. Moeso membutuhkan staf di
Lab Kultur Jaringan. Singkat cerita, Bu Endang menjadi staf Prof.Moeso di Lab Kultur
Jaringan. Hal pertama yang beliau lakukan adalah menjaga kebersihan anggrek.
Kemudian meningkat, diajari mengawinkan anggrek oleh Prof.Moeso sendiri. Awalnya
dari 10 anggrek yang disilangkan, hanya 20% yang berhasil. Akhirnya berhasil
100%. Baru akhirnya beliau diminta masuk
di Lab dan belajar Kultur Jaringan sambil kuliah S2 yang diselesaikannya dalam waktu tepat 2 tahun. Sejak saat itu, berkat
berbagai penelitian
di bidang anggrek dan sebagai asisten
Prof. Moeso, beliau mulai
dikenal oleh khalayak umum.
“Jangan
pernah tinggalkan anggrek”, demikian amanah
Prof.Moeso sebelum meninggal, dan amanah inilah yang
mengantarkan bu Endang
tetap berjuang sampai saat ini. Demi anggrek, beliau menghadiri seminar-seminar
di berbagai tempat dan
terjun langsung ke lapangan untuk menyelamatkan anggrek-anggrek alam di tanah air yang
keberadaannya terancam punah.
“Sebetulnya
saya merasa sangat berat
dengan kondisi seperti sekarang ini, dengan kondisi
tidak ada tenaga laboran sebagai sumber daya manusia yang
memadai di Laboratorium Bioteknologi saat ini, dan kondisi penganggrekan
di tanah air yang lesu. Tetapi justru hal ini menjadi
tantangan bagi saya, apakah yang harus
dilakukan supaya anggrek Indonesia kembali bergairah dan anggrek menjadi tuan rumah di
negeri sendiri? Kita
semua tahu bukan, bahwa potensi
anggrek di Indonesia itu seharusnya sangat bagus, karena letak Indonesia
yang strategis di daerah tropis
merupakan agroklimat yang ideal untuk pertumbuhan tanaman anggrek,”terang
beliau.
Tidak
ada cinta yang tidak diuji. Begitu pula perjalanan beliau di bidang peranggrekan. Karena pertumbuhan
anggrek membutuhkan waktu yang cukup lama, maka
banyak orang yang tidak mau/tertarik meneliti anggrek.
Tidak mudah mengajak orang untuk menekuni bidang ini. “Banyak orang yang senang pada bunga anggrek, tetapi tidak mau mengerti urusan “dapurnya”. Oleh
karena itu, harus ada kerjasama
antara berbagai sektor yaitu
Akademisi-Bisnisman-Community/masyarakat-Government/pemerintah (A-B-C-G). Keempat pihak/sektor tersebut harus bekerjasama dalam
kompetensinya masing-masing untuk memajukan peranggrekan di Indonesia,” tambah
beliau.
Selama ini BiOSC yang dijadikan
sebagai wadah bagi mahasiswa yang mencintai
anggrek untuk lebih mengenal anggrek dan
menggerakkan dunia peranggrekan Indonesia
dirasa sudah baik dalam berupaya mengeksplorasi anggrek-anggrek alam melalui
ekspedisi ke berbagai hutan maupun bukit, tetapi karya nyata untuk peranggrekan
di Fakultas masih belum tampak nyata. Oleh karena itu pihak Fakultas perlu duduk bersama dengan
adik-adik BioSC dan kelompok
studi yang lain dalam mengembangkan ide-ide pengembangan landscape dan peranggrekan
di Fakultas Biologi.
Pesan bu Endang
untuk BioSC kedepannya,
sebaiknya Pengurus dan anggota BioSC selalu aktif mengikuti kegiatan
peranggrekan yang dilaksanakan oleh Fakultas (Lab Bioteknologi), PAI maupun
penganggrek-penganggrek lainnya di DIY maupun daerah lain di tingkat
nasional,
serta aktif mengikuti seminar-seminar atau ekspedisi anggrek di hutan-hutan
tropis di seluruh Indonesia dan membuat kerjasama dengan alumni-alumni Fakultas
Biologi/BiOSC yang bekerja di berbagai Taman Nasional di negeri ini. Sehingga kita bisa mewujudkan impian
kita menjadikan Fakultas Biologi UGM sebagai “Indonesian Orchid Research Center”
Nah
yang terakhir ini adalah pesan dan harapan Bu Endang untuk kita, terutama anggota BiOSC.
“Jangan
pernah lelah untuk meneliti..dan meneliti
anggrek-anggrek kita. Sebagai generasi muda kalian harus selalu berusaha memupuk sifat-sifat ingin tahu serta
terus mempunyai pemikiran cemerlang ke depan berdasarkan apa yang kita lihat
hari ini. Karena tidak ada sesuatu yang sia-sia. Tuhan menciptakan segala
sesuatu pasti ada maknanya. Cari tahulah apa makna itu dengan menyibak tabir
yang Tuhan berikan. Jangan pernah lelah untuk melakukan itu. Karena apa? Karena
meneliti itu ibadah. Tetap ikhlas dan istiqomah (terus-menerus) dalam
menjalaninya. Semoga ke depan BiOSC semakin berkibar dan sukses selalu”. (Astri)
Mohon informasi, apakah di Biologi UGM membuka pelatihan kultur jaringan anggrek?
BalasHapusJazakumullah
BalasHapusالحمد للهجومين
BalasHapusSyukran Prof. Dr. Endang Semiarti, M.S., M.Sc.
الحمد للهجومين
BalasHapusSyukran Prof. Dr. Endang Semiarti, M.S., M.Sc.
ALHAMDU LILLAH
BalasHapusTerima Kasih Prof. Dr. Endang Semiarti, M.S., M.Sc.
Maaf tulisan arabnya kok jadi keliru seharusnya الحمد لله
BalasHapus